Sebagai seorang Islam, sewajarnyalah kita memohon kemaafan kepada seseorang jika kita telah melakukan kesalahan terhadapnya. Jika kita telah minta maaf terpulanglah kepada orang tersebut, apakah ia ingin memaafkannya atau sebaliknya, kerana selaku manusia kita tidak dapat terlepas daripada melakukan kesilapan dan kesalahan. Tapi jangan pula kita memutuskan tali silaturrahim lantaran sikapnya yang acuh tak acuh.
Memutuskan silaturrahim menyebabkan seseorang memperoleh hukuman dengan segera ketika berada di dunia lagi. Sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadis daripada Abu Bakar ra. bahawa baginda SAW bersabda yang bermaksud:
“Tidak ada dosa yang lebih layak dipercepat hukumannya di dunia, dan apa yang dipersiapkan Allah baginya di akhirat daripada tindakan kezaliman dan memutuskan hubungan silaturrahim”. (Hadith Riwayat Ibnu Majah dan Tarmizi)
Sesungguhnya tidak rugi jika kita sentiasa mempererat tali silaturrahim, kerana ia menyebabkan dilapangkan rezeki dan dipanjangkan umur. Rasulullah SAW bersabda maksudnya:
“Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan usianya, hendaklah ia memelihara hubungan silaturrahim”. (Hadith Riwayat Bukhari dan Muslim)
Rasulullah SAW bersabda :
“Janganlah kalian saling mengawasi, janganlah saling mencari-cari keterangan, janganlah saling memutuskan hubungan, janganlah saling membelakangi dan jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” (Muttafaq Alaihi)
Salah satu sifat mulia yang dianjurkan dalam Al Qur’an adalah sikap memaafkan:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Harta tidak akan berkurang gara-gara sedekah. Tidaklah seorang hamba memberikan maaf -terhadap kesalahan orang lain- melainkan Allah pasti akan menambahkan kemuliaan pada dirinya. Dan tidaklah seorang pun yang bersikap rendah hati (tawadhu’) karena Allah (ikhlas) melainkan pasti akan diangkat derajatnya oleh Allah.” (HR. Muslim).
Anjuran untuk memberikan maaf kepada orang lain yang bersalah kepada kita -secara pribadi-. Dengan demikian -ketika di dunia- maka kedudukannya akan bertambah mulia dan terhormat. Di akherat pun, kedudukannya akan bertambah mulia dan pahalanya bertambah besar jika orang tersebut memiliki sifat pemaaf.
Juga dinyatakan dalam Al Qur’an bahwa pemaaf adalah sifat mulia yang terpuji.
“Tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia.” (Surah asy-Syura [42]:43)
Pemahaman orang-orang beriman tentang sikap memaafkan sangatlah berbeda dari mereka yang tidak menjalani hidup sesuai ajaran Al Qur’an. Meskipun banyak orang mungkin berkata mereka telah memaafkan seseorang yang menyakiti mereka, namun perlu waktu lama untuk membebaskan diri dari rasa benci dan marah dalam hati mereka. Sikap mereka cenderung menampakkan rasa marah itu. Di lain pihak, sikap memaafkan orang-orang beriman adalah tulus. Karena mereka tahu bahwa manusia diuji di dunia ini, dan belajar dari kesalahan mereka, mereka berlapang dada dan bersifat pengasih. Lebih dari itu, orang-orang beriman juga mampu memaafkan walau sebenarnya mereka benar dan orang lain salah. Ketika memaafkan, mereka tidak membedakan antara kesalahan besar dan kecil. Seseorang dapat saja sangat menyakiti mereka tanpa sengaja. Akan tetapi, orang-orang beriman tahu bahwa segala sesuatu terjadi menurut kehendak Allah, dan berjalan sesuai takdir tertentu, dan karena itu, mereka berserah diri dengan peristiwa ini, tidak pernah terbelenggu oleh amarah.